Waktu masih kanak-kanak, ibu pernah memintaku untuk mengangkut sekarung beras dari sebuah pabrik menuju ke rumah di kampung yang berbeda. Namun karena tenagaku yang tidak kuat, aku terjatuh di sebuah jembatan. Akibatnya karung beras itu jatuh di bantaran kali kecil itu.
Sesampai di rumah ibuku mendengarkan semua alasanku. Aku khawatir ia akan marah. Namun, ternyata ia hanya berkata: "Oh jembatan kayunya kecil ya..." Padahal kejadian ini adalah untuk ketiga kalinya. Sekali waktu ibu pernah memarahiku karena aku tak mau membantunya menimba air. Aku sedang malas dan barulah pertama kali itu aku tidak melakukannya.
Di depan pintu dapur, ia hanya mengucapkan: "Nanti kalau besar mau jadi apa, kalau malas...". Aku pun pernah marah kepadanya. Karena ia telah memakan kue pisang kesukaanku yang diberi oleh tetangga. Dengan peluhnya sehabis membuat sapu lidi, ia langsung mengambil kue itu dan berkata: "Kamu gak mau kan...". Ibu tak memperhatikan jawabanku selain langsung memakannya, padahal aku sangat ingin.
Lain waktu setelah pulang dari sekolah, perutku lapar. Namun, aku tak menemukan nasi di meja makan dekat
tungku api. Aku menemuinya, berharap ia menyimpan makanan itu di suatu tempat yang tak kuketahui. Tapi
tebakanku salah. Dengan ringannya ia berkata: "Kamu panjat kelapa dan mencabut singkong di belakang rumah, lalu ibu yang memasaknya. Setelah itu kita makan bareng ya...".
Ibuku memang tak pernah marah ketika aku melakukan kesalahan, asalkan aku memberikan alasan yang bisa dimakluminya. Ia memberikan kesempatan dan waktu terus menerus untukku menyempurnakannya. Ia juga sangat menyukaiku bila aku mau disiplin dan tidak malas dalam melakukan sesuatu.
Sedangkan, dulu yang kuanggap kesalahan ibu, justru ia mendidikku untuk belajar berempati dan menghargai
jerih payah orang lain. Sewaktu kami kekurangan bahan makanan, ia mengajakku bekerja sama menjemput rezeki yang halal dan baik.
Aku terbiasa dengan perlakuan ibu kala itu. Kadang
merasa nyaman, kadang was-was khawatir ibu akan marah.
Walaupun aku menemui sikapnya berbeda jauh dari
sangkaanku.
Namun sungguh, di kala kami anak-anaknya menjalani kemiskinan justru ibu memperkaya diri kami dengan
makna hidup yang sebenarnya. Memberikan asupan, semangat, dan cara mensiasati hidup dengan keridhoan
terhadap apa yang didapatkan dan dijalani.
Ibuku lulusan sekolah rakyat dan tak mengenyam pendidikan tinggi. Ia adalah wanita yang dicintai dan disegani anak-anaknya.
Satu hal saja yang menempatkan ibu pada posisi sangat dihargai oleh anak-anaknya. Yaitu soal calon pendamping hidup.
Tak satu pun pasangan hidup anaknya, baik laki atau perempuan yang tak melalui "tes ujian menantu".
Satu hal saja, yang akan selalu ia tanyakan, "Apakah kamu sanggup dalam kemiskinan dan kekurangan anakku?".
Saat ini aku telah menikah dan dianugerahi seorang anak yang memasuki tahun pertama usianya, ia telah
dapat meniru banyak hal. Aku dan istriku mengajarinya beberapa hal, seperti berterima kasih, berdoa di
setiap kesempatan, tanda hormat dengan mencium tangan, rela melepas dan memberikan mainannya.
Bila ia menangis, aku ajarkan untuk menyadari sendiri tingkahnya. Sampai akhirnya ia terdiam dan bermain
kembali tanpa campur tangan ibunya untuk menghentikan tangisnya. Ternyata, ia mau melakukannya walau
membutuhkan waktu.
Namun dari semua itu, aku belajar dan terkayakan ilmu dari seorang wanita. Dialah Ibuku, yang menitipkan
banyak nasihat dalam perjalanan hidupku, melekat, mendalam, dan penuh makna dengan ketulusannya. Aku
bersyukur, Allah telah memberikan wanita hebat itu.
Semua itu melahirkan sebuah inspirasi besar bagaimana mendidik anakku. Ibuku, inspirasiku.
Aku akan berusaha melahirkan banyak hal untuk anak-anakku. Agar kelak mereka mendapatkan inspirasi
luar biasa dan lebih baik setelahku. Walaupun aku tahu, ada sisi kekurangan dan keterbatasan ibu yang
terbungkus dalam kesederhanaannya dalam hidup. Tentunya, setiap anak pasti akan menemukan kekuatan
inspirasi itu dari seorang ibu bagaimana pun keadaannya.