Bumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit, terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya.
Dia akan
diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan Rosul-Nya serta negeri akhirat dan
penyeru kepada kenikmatan dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu
mana yang paling dekat dengannya.
Seorang
yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya, tidak menyembah-Nya, tidak
mencintai apa yang dicintai-Nya dan tidak mencari Ridlo-Nya. Tetapi dia hanya
menurti ambisi syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya. Dia tidak peduli apakah
Rabb-Nya ridlo atau murka yang penting dia telah melampiaskan syahwat dan
keinginannya.
Rasa
cinta, takut, pengharapan, keridloan, kemarahan, pengagungan, dan kerendahan dirinya
diperuntukkan kepada selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi
karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia utamakan dan paling dia
cintai dibanding keriloan maulanya (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu
sebagai pimpinannya, syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai
pengemudinya dan lalai sebagai kendaraannya.
Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami
sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati akan terkikis dan
sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat dan selamat.
Hati
yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang selalu
menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat dari setiap syubhat (bid’ah)
yang merancukan wawasannya, selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum
kepada selain Rosul-Nya.
Dia selalu mengutamakan
keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat,
takut, pengharapan dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta,
memberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang mempunyai hati
inilah yang selamat pada hari kiamat.
Allah
berfirman : “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak pla anak kecuali yang
datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89).
(lihat Kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis
Syaithon karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh Ali
Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).
Demikian
keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu disinari dan disirami
cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu sebagai obat penyakit yang ada pada dada
manusia. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya telah datang
kepada kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang
ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S.
Yunus : 57).
“Maka
Mauidlah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati.
Sesungguhnya kebodohan itu adalah penyakit, obatnya adalah bimibngan’. Demikian
penafsiran al Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab Mawarid
hal 45).
Dengan
ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, budak maupun
orang merdeka untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam, “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Al-Mizzy).
Kemudian
apa sebetulnya yang dimaksud engan ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran dan
Hadits tentang keutamaan dan kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu
Hajar Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayt yang dibawaka oleh Al-Imam
Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” : “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya
Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thoha : 114)
Beliau
(Ibnu Hajar) berkata : “Ini dalil yang sangat jelas tentang keutamaan ilmu,
karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk
meminta tambhan kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu syar’I,
yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas setiap mukallaf (muslim
dan muslimah yang baligh) tentang perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu
mempelajari tentang Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan
dari perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa yang tercela.
Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat
Kitab Fathul Baari Syarah Shohih Bukhari 1/40).
Maka
ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah,
Rasul-Nya, Agama-Nya dengan dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah
karya Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi
Rahimahullah hal 1-3).
Belajar
ilmu yang dimaksud di atas, harus bersumber dari Al-Quran dan Hadits sesuai
dengan pemahaman Salaf (para Sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Sebagian Ahlul ilmu (para
ulama) sepakat : “ilmu adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta perkataan
para sahabat tiada keraguan padanya”(lihat Bahjatunnadlirin syarah
Riyadlusshalihin karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali Juz 2 Hal 462).
Al-Imam
Al-Auza’I berkata “Ilmu adalah apa yang datang dari sahabat-sahabat Muhammad
Shalallahu’alaihi wasallam dan sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu
bukan ilmu.”(dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jaami’ 2/29)
Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan, "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan Al-Jama'ah : kesepakatan (ijma') para sahabat-sahabat shalallahu'alaihi wasallam pada khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105 No. 105).
Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan, "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan Al-Jama'ah : kesepakatan (ijma') para sahabat-sahabat shalallahu'alaihi wasallam pada khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105 No. 105).
Kesimpulan
Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid'ah yang memakai ro'yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan ta'wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim).
Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid'ah yang memakai ro'yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan ta'wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim).
Sebagaimana himbauan seorang ulama
dari kalangan Tabi'in Muhammad bin Sirrin rahimahullah : "Sesungguhnya
ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama
kalian."(diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah Kitab Shohihnya
1/14). Wallahu
Ta'ala A'lam.